Rabu, 17 April 2013

Cinta Tanah Air

Pengertian Cinta Tanah Air
 
Pengertian cinta tanah air adalah suatu kasih sayang dan suatu rasa cinta terhadap tempat kelahiran atau tanah airnya. Bisa dikatakan bahwa Negara Kesatuan Republic Indonesia ini dilahirkan oleh generasi yang mempunyai idealisme cinta tanah air dan bangsa, kalau tidak, mungkin saat ini kita bangsa Indonesia masih dijajah oleh belandayang luas negaranya dibangding pulau Bali saja masih luasan pualu Bali. Kita harus sangat berterimakasih kepada para tokoh yang mencetuskan pembentukan organisasi boedi oetomo pada tanggal 20 Mei 1945, para pencetus sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, dan para tokoh yang memungkinkan terjadinya proklamasi 17 Agustus 1945.
 
Cinta Tanah Air
 
1.       Bangga menjadi orang Indonesia
2.      Melestarikan Budaya
3.      Menggunakan Produk Lokal
4.      Hemat Energi
5.       Harumkan Nama Bangsa

Cara-cara meningkatkan rasa cinta tanah air
 
1.      Mempelajari sejarah perjuangan para pahlawan pejuang kemerdekaan kita serta menghargai jasa para pahlawan kemerdekaan.
2.      Menghormati upacara bendera sebagai perwujudan rasa cinta tanah air dan bangsa Indonesia.
3.      Menghormati symbol-simbol Negara seperti lambang burung garuda, bendera merah putih, lagu kebangsaan Indonesia raya, dll.
4.      Mencintai dan menggunakan produk dalam negeri agar pengusaha local bisa maju sejajar dengan pengusaha asing.
5.      Ikut membela serta mempertahankan kedaulatan kemerdekaan bangsa dan Negara Indonesia dengan segenap tumpah darah secara tulus dan iklhas.
6.      Turut serta mengawasi jalannya pemerintahan dan membantu meluruskan yang salah sesuai dengan mekanisme yang berlaku.
7.      Membantu mengharumkan nama bangsa dan Negara Indonesia kepada warga Negara asing baik di dalam maupun di luar negeri serta tidak melakukan tindakan-tindakan yang mencoreng nama baik Indonesia.
8.      Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar pada acara-acara resmi dalam negeri.
9.      Beribadah dan berdo’a kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk kemajuan bangsa dan Negara.
10.  Membantu mewujudkan ketertiban dan ketemtraman baik di lingkungan sekitar kita maupun secara nasional.

HAM

PERLINDUNGAN ANAK

 
Setiap manusia  dilahirkan merdeka  dan sama dalam martabat dan hak-haknya. Artinya, Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan suatu hak yang  melekat pada diri manusia, yang bersifat  sangat mendasar dan mutlak diperlukan agar manusia dapat berkembang sesuai dengan bakat, cita-cita dan martabatnya. Bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak-hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan yang tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun.
Anak merupakan salah satu pihak yang rentan mengalami objek pelanggaran Hak Asasi. Pengertian Kelompok Rentan tidak dirumuskan secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan, seperti tercantum dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Dalam Penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kelompok masyarakat yang rentan, antara lain, adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat. Sedangkan menurut Human Rights Reference disebutkan, bahwa yang tergolong ke dalam kelompok rentan adalah: Refugees, Internally Displaced Persons (IDPs), National Minorities, Migrant Workers, Indigenous Peoples, Children, dan Women.
Pengakuan   atas eksistensi anak sebagai subyek hak asasi manusia  (HAM) yang sui generis (rights holders as sui generis) ditandai manakala Konvensi Hak Anak (KHA) telah diratifikasi oleh 193 negara. Dengan demikian sebanyak 193 pemerintah telah menerima kewajibannya untuk mengambil semua langkah-langkah legislative, administrative, sosial, dan pendidikan secara layak untuk melindungi anak-anak dari semua bentuk-bentuk dan manifestasi kekerasan. Kendati  ratifikasi KHA telah menunjukkan universalitas, namun perlindungan anak dari kekerasan, eksploitasi, dan penyalahgunaan kekuasaan (children’s protection from violence, exploitation, and abuse) masih sangat lemah. Anak sebagai bagian integral dari komunitas, paling lemah kemampuannya untuk melindungi diri mereka sendiri, malah mereka menjadi obyek segala bentuk dan manifestasi kekerasan. Penghukuman secara fisik dan merendahkan martabat anak masih jamak dan meluas dilakukan dalam komunitas seperti di sekolah, di rumah, dan masyarakat setempat. Konstitusi kita menyatakan bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Di sisi lain, perlindungan terhadap keberadaan anak ditegaskan secara eksplisit dalam 15 pasal yang mengatur hak-hak anak sesuai Pasal 52 – Pasal 66 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM.
 
Perkembangan Perlindungan Hak Asasi Manusia Anak
Berbagai upaya yang ditujukan bagi perlindungan dan pemajuan HAM di Indonesia merupakan hal yang sangat strategis sehingga memerlukan perhatian dari seluruh elemen bangsa. Untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya. Berbagai batasan anak dapat ditemukan dalam beberapa peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, namun pada prinsipnya keragaman batasan tersebut mempunyai implikasi yang sama yaitu memberikan perlindungan pada anak.
Dari segi regulasi, peraturan terkait perlindungan terhadap hak asasi anak dimulai dengan Convention on the Rights of the Child/Konvensi tentang Hak-hak Anak (KHA). Konvensi ini disetujui oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November 1989 dan diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on The Rights of The Child (konvensi tentang hak-hak anak) tanggal 25 Agustus 1990. Dalam Convention on the Rights of the Child terkandung 4 (empat) prinsip dasar yaitu prinsip non-diskriminasi artinya semua hak yang diakui dan terkandung dalam KHA harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun. Prinsip ini merupakan pencerminan dari prinsip universalitas HAM (Pasal 2 KHA); prinsip kepentingan yang terbaik bagi anak (best interest of the child) artinya bahwa di dalam semua tindakan yang menyangkut anak, maka apa yang terbaik bagi anak haruslah menjadi pertimbangan yang utama (Pasal 3 KHA); prinsip atas hak hidup, kelangsungan dan perkembangan (the rights to life, survival, and development) artinya harus diakui bahwa hak hidup anak melekat pada diri setiap anak dan hak anak atas kelangsungan hidup serta perkembangannya juga harus dijamin (Pasal 6 KHA); serta prinsip penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the views of the child) artinya bahwa pendapat anak, terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya, perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan (Pasal 12 KHA).
Selanjutnya, beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan juga mengatur tentang pentingnya perlindungan terhadap hak asasi anak. Hal ini dapat dilihat dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dimana hak asasi anak mendapat tempat tersendiri dalam Undang-undang ini. Anak merupakan subjek hukum yang sangat rentan dalam proses penegakan hukum khususnya dalam proses peradilan. Hak anak dalam proses peradilan menurut Undang-Undang antara lain yaitu:
  1. Tidak dianiaya, disiksa, atau dihukum secara tidak manusiawi;
  2. Tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup:
  3. Tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum;
  4. Tidak ditangkap, ditahan atau dipenjara secara melawan hukum, atau jika sebagai upaya yang terakhir (measure of the last resort);
  5. Diperlakukan secara manusiawi dalam proses peradilan pidana;
  6. Hak atas bantuan hukum, untuk membela diri dan memperoleh keadilan di Pengadilan Anak yang bebas dan tidak memihak.
Perlindungan anak juga diatur dalam Undang-undang tersendiri yaitu Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002. Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Beberapa ketentuan yang diatur secara umum dalam Undang-Undang ini antara lain prinsip-prinsip dasar sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak, Hak dan Kewajiban Anak, Kewajiban dan Tanggung Jawab Negara dan Pemerintah, Kewajiban dan Tanggung Jawab Masyarakat, Kewajiban dan Tanggung Jawab Keluarga dan Orang Tua, Kedudukan Anak, Pengasuhan dan pengangkatan anak, Penyelenggaraan perlindungan anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
Berkaitan dengan masalah pekerja anak, pemerintah Indonesia sudah meratifikasi Konvensi tentang Pengakhiran Bentuk Bentuk Terburuk Pekerja Anak melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning The Prohibition  and Immediate Action for Elimination of The Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak). bentuk-bentuk  pekerjaan  terburuk  untuk  anak” mengandung pengertian :
  1. segala bentuk perbudakan atau praktik-praktik sejenis perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anak-anak, kerja ijon (debt bondage) dan perhambaan serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak-anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata;
  2. pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno;
  3. pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan haram, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan;
  4. pekerjaan yang sifatnya atau lingkungan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, atau moral anak-anak.

Wawasan Nusantara

TARI JAIPONG

Jaipongan adalah sebuah jenis tari pergaulan tradisional masyarakat Sunda, Jawa Barat, yang cukup populer di Indonesia.

Sejarah

Tari ini diciptakan oleh seorang seniman asal Bandung, Gugum Gumbira, sekitar tahun 1960-an, dengan tujuan untuk menciptakan suatu jenis musik dan tarian pergaulan yang digali dari kekayaan seni tradisi rakyat Nusantara, khususnya Jawa Barat. Meskipun termasuk seni tari kreasi yang relatif baru, jaipongan dikembangkan berdasarkan kesenian rakyat yang sudah berkembang sebelumnya, seperti Ketuk Tilu, Kliningan, serta Ronggeng. Perhatian Gumbira pada kesenian rakyat yang salah satunya adalah Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan mengenal betul perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada Kliningan/Bajidoran atau Ketuk Tilu. Gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid dari beberapa kesenian menjadi inspirasi untuk mengembangkan kesenian jaipongan.

Perkembangan

Karya Jaipongan pertama yang mulai dikenal oleh masyarakat adalah tari "Daun Pulus Keser Bojong" dan "Rendeng Bojong" yang keduanya merupakan jenis tari putri dan tari berpasangan (putra dan putri). Dari tarian itu muncul beberapa nama penari Jaipongan yang handal seperti Tati Saleh, Yeti Mamat, Eli Somali, dan Pepen Dedi Kurniadi. Awal kemunculan tarian tersebut sempat menjadi perbincangan, yang isu sentralnya adalah gerakan yang erotis dan vulgar. Namun dari ekspos beberapa media cetak, nama Gugum Gumbira mulai dikenal masyarakat, apalagi setelah tari Jaipongan pada tahun 1980 dipentaskan di TVRI stasiun pusat Jakarta. Dampak dari kepopuleran tersebut lebih meningkatkan frekuensi pertunjukan, baik di media televisi, hajatan maupun perayaan-perayaan yang diselenggarakan oleh pihak swasta dan pemerintah.
Kehadiran Jaipongan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap para penggiat seni tari untuk lebih aktif lagi menggali jenis tarian rakyat yang sebelumnya kurang perhatian. Dengan munculnya tari Jaipongan, dimanfaatkan oleh para penggiat seni tari untuk menyelenggarakan kursus-kursus tari Jaipongan, dimanfaatkan pula oleh pengusaha pub-pub malam sebagai pemikat tamu undangan, dimana perkembangan lebih lanjut peluang usaha semacam ini dibentuk oleh para penggiat tari sebagai usaha pemberdayaan ekonomi dengan nama Sanggar Tari atau grup-grup di beberapa daerah wilayah Jawa Barat, misalnya di Subang dengan Jaipongan gaya "kaleran" (utara).
Ciri khas Jaipongan gaya kaleran, yakni keceriaan, erotis, humoris, semangat, spontanitas, dan kesederhanaan (alami, apa adanya). Hal itu tercermin dalam pola penyajian tari pada pertunjukannya, ada yang diberi pola (Ibing Pola) seperti pada seni Jaipongan yang ada di Bandung, juga ada pula tarian yang tidak dipola (Ibing Saka), misalnya pada seni Jaipongan Subang dan Karawang. Istilah ini dapat kita temui pada Jaipongan gaya kaleran, terutama di daerah Subang. Dalam penyajiannya, Jaipongan gaya kaleran ini, sebagai berikut: 1) Tatalu; 2) Kembang Gadung; 3) Buah Kawung Gopar; 4) Tari Pembukaan (Ibing Pola), biasanya dibawakan oleh penari tunggal atau Sinden Tatandakan (serang sinden tapi tidak bisa nyanyi melainkan menarikan lagu sinden/juru kawih); 5) Jeblokan dan Jabanan, merupakan bagian pertunjukan ketika para penonton (bajidor) sawer uang (jabanan) sambil salam tempel. Istilah jeblokan diartikan sebagai pasangan yang menetap antara sinden dan penonton (bajidor).